Senin, 29 Februari 2016

Aku ini

Aku ini mungkin bukan anak yang baik untuk orang tuaku, mungkin juga bukan kakak yang baik buat adikku. Dan ketika aku berusaha untuk menjadi yang terbaik aku akan jatuh berkali-kali, jangankan menjadi anak atau kakak yang lebih baik, sekedar kata 'baik' saja mungkin belum pantas untukku. Sepertinya takdir gak menginginkan aku untuk menjadi anak yang baik untuk orang tuaku atau kakak yang baik untuk adikku. Takdir selalu menolak setiap langkah yang aku lakukan. Ketika aku menginginkan sesuatu, takdir mematahkannya. Entah akan menjadikan yang dipatahkannya itu lebih baik atau bahkan menjadi lebih buruk dari yang aku lakukan.

Aku bahkan belum bisa membahagiakan orang tuaku dan kadang berpikir aku hanyalah beban untuk mereka, aku juga belum bisa jadi kakak yang baik dimana aku harus belajar untuk mengalah, menjadi contoh yang baik untuk adikku, yang selalu ada untuk dia saat dia susah, menjadi teman dikala dia kesepian.

Aku kadang hanya menangis untuk diriku yang selalu berpikir menjadi beban untuk orang disekitarku, berusaha bangkit menjadi kuat ternyata gak segampang yang aku kira.

Suatu ketika aku menempelkan selembar kertas di dinding dengan kata "Inne kuat! jangan ngeluh! cewek kuat gak boleh ngeluh apalagi nangis!", suatu hari seorang teman datang dan melihat kertas tersebut dan berkata padaku, "Kamu boleh ngeluh, boleh nangis asal gak boleh yang namanya nyerah."

Ya seperti biasa, setiap perkataan itu gampang untuk diucap tapi tidak untuk dilakukan. Aku ingin tidak menjadi beban untuk orang tuaku, berusaha menjadi pribadi yang mandiri entah mendapatkan rezeki atau lainnya. Dan berusaha menjadi kakak yang baik untuk adikku.

Dari hari ke hari, aku sadar, semakin bertambahnya umurku bukan menjadi patokan aku menjadi lebih dewasa, cara pikirku masih jauh dari kata dewasa. Mungkin banyak mimpi yang aku ingin wujudkan terutama mimpi untuk keluargaku, tapi untuk mewujudkan semua itu mungkin aku terlalu pesimis untuk mencapainya. M.U.N.G.K.I.N !

Kamis, 25 Februari 2016

Lebih nyaman

Lebih nyaman kaya gini aja.
Bukannya takut buat memulai hal baru, atau takut menemukan yang lebih baik.
Karena menurutku ini masih terlalu cepat.
Belum saatnya, luka lamapun belum sepenuhnya sembuh.

Aku gak tau mau nyebutin kenangan sama dia itu suatu luka atau bukan.
Bukannya karena hal itu kenangan buruk atau apapun itu tapi kenangan yang bahkan sampai sekarang aku gak tau gimana cara melupakannya. Banyak yang bilang kenangan itu untuk dikenang bukan untuk dilupakan tapi untuk diikhlaskan. Tapi menurutku semakin aku mengikhlaskan kenangan itu maka semakin aku mengingat kenangan itu.

Kadang aku bertanya pada diri sendiri,
Kenapa harus mengingat orang yang menyakiti aku ketimbang yang mencintai aku?
Mungkin jawabanku adalah gak ada yang benar-benar mencintaiku selain diriku sendiri, orang tuaku dan adikku.

Luka yang ditinggalkan oleh orang yang menyakiti lebih bertahan daripada orang yang kurasa menyayangiku, dan karena luka itupula aku tidak berani untuk menbuka atau mencoba menemukan seseorang yang sekiranya menyanyangiku, bahkan ketika ada yang mengatakan menyayangiku, aku terlalu takut untuk mendekatinya lagi bukannya tidak menghargainya tapi karena takut luka lama akhirnya terbuka lagi.

Hanya Tuhan yang tau kapan waktu yang tepat dan bagaimana prosesnya akan terjadi, mungkin dengan aku menenangkan diri dengan keadaanku yang sekarang, aku bisa menjadi pribadi yang lebih baik, bahkan bisa berusaha mencari cara untuk  membahagiakan dan membanggakan kedua orang tua ku.

Dan buat orang yang menyakitiku dan mengecewakanku, aku cuma mau bilang dengan luka yang kamu berikan, aku belajar kuat saat terjatuh, aku belajar sabar, bahkan aku belajar untuk memaafkan, dan aku belajar menjadi manusia yang lebih baik. Aku juga menjadi lebih hati-hati untuk mencari seseorang yang benar-benar yakin bahwa aku adalah tulang rusuknya.

Sabtu, 13 Februari 2016

Keadaan

Jika ditanya apakah aku baik-baik saja, aku ingin sekali menjawab bahwa aku baik-baik saja.
Tapi nyatanya aku gak sedang baik-baik saja. Aku pikir akan ada yang benar-benar bertanya tentang keadaanku.

Tapi kenyataan yang lain pun datang.
Aku harus terima kenyataan, bahwa gak pernah ada yang benar-benar bertanya tentang keadaanku. Mereka yang bertanya bukan benar-benar perduli. Tapi hanya ingin tau, dan menjadikan keadaanku ini, sebagai sebagian dari cerita yang akan mereka ceritakan dibelakangku.

Harusnya aku sadar dengan semuanya.

Tapi aku terlalu egois dan tutup mata mengetahui hal itu, dimana aku masih berpikir, bahwa mereka memang tulus ada dan perduli dengan apa yang terjadi.

Pertanyaan kembali muncul, apakah aku juga tulus bertanya keadaan mereka? Apakah aku perduli dengan keadaan mereka? Atau mungkin aku sama seperti mereka? Mungkin sebagian egoku ingin bilang kalo apa yang sedang aku alami ini sedikit banyaknya membuat aku berpikir bahawa semua bukanlah apa-apa. Apakah kamu mengerti? Sepertinya kita sama-sama gak mengerti tentang kebingungan ini.

Mungkin apa yang mereka pikirkan juga sama dengan apa yang aku pikirkan, 'buat apa memikirkan orang, mikir diri sendiri aja susah'. Tapi kadang akan ada sisi lain dari diri kita melakukan sesuatu dengan 'tulus' tanpa menjadikan apa yang telah dilakukan itu menjadi omongan dimasa mendatang.

Kadang menangis sendiri itu lebih baik, tanpa ada seseorang yang tau apa yang sedang terjadi. Menangis memang tidak akan menyelesaikan masalah, tapi setidaknya akan membuat lega. Siapa yang perduli? Hanya aku yang tau kondisi sebenarnya, tanpa harus bertanya atau menunggu seseorang untuk bertanya dan perduli.